23 AMALAN SUNNAH Di HARI JUM'AT (Bagian 2)
2. Mandi Jumat
Mandi jum’at adalah termasuk sesuatu yang disyari’atkan, dan memiliki keutamaan yang besar.
Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rosulullah shalllaahu ‘alayhi wa sallam bersabda,
مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ غُسْلَ اْلجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ فَكَأَنمَّاَ قَرَّبَ بَدَنَةً وَ مَنْ رَاحَ فىِ السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنمَّاَ قَرَّبَ بَقَرَةً وَ مَنْ رَاحَ فىِ السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنمَّاَ قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ وَ مَنْ رَاحَ فىِ السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنمَّاَ قَرَّبَ دَجَاجَةً وَ مَنْ رَاحَ فىِ السَّاعَةِ اْلخَامِسَةِ فَكَأَنمَّاَ قَرَّبَ بَيْضَةً فَإِذَا خَرَجَ اْلإِمَامُ حَضَرَتِ اْلمـَلاَئِكَةُ يَسْتَمِعُوْنَ الذِّكْرَ
“barangsiapa MANDI hari jum’at seperti mandi janabat kemudian berangkat maka seolah-olah ia berkurban seekor unta. Barangsiapa yang berangkat pada saat yang kedua maka seolah-olah ia berkurban seekor sapi. Barangsiapa berangkat pada saat yang ketiga maka seolah-olah ia berkurban seekor kambing yang dewasa. Barangsiapa yang berangkat pada waktu yang keempat maka seolah-olah ia berkurban seekor ayam. Dan barangsiapa yang berangkat pada saat yang kelima maka seolah-olah ia berkurban sebutir telur. Maka apabila imam telah keluar maka para malaikat hadir untuk mendengarkan khutbah”.
[Telah mengeluarkan hadits ini al-Bukhaariy dan selainnya].
Dari Abu Dzarr, dari Nabi shallallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda,
مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ فَأَحْسَنَ غُسْلَهُ وَ تَطَهَّرَ فَأَحْسَنَ طَهُوْرَهُ وَ لَبِسَ مِنْ أَحْسَنِ ثِيَابِهِ وَ مَسَّ مَا كَتَبَ اللهُ لَهُ مِنْ طِيْبِ أَهْلِهِ ثُمَّ أَتَى اْلجُمُعَةَ وَ لَمْ يَلْغُ وَ لَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ اثْنَيْنِ غُفِرَ لَهُ مِنْ بَيْنِهِ وَ بَيْنَ اْلجُمُعَةِ اْلأُخْرَى
“Barangsiapa MANDI pada hari jum’at lalu ia membaguskan mandinya, bersuci lalu ia membaguskan bersucinya, memakai dari pakaian yang terbagusnya, menggunakan wewangian keluarganya yang telah ditetapkan oleh Allah untuknya. Kemudian ia mendatangi jum’at, tidak berbicara dan tidak pula memisahkan antara dua orang (yang sedang duduk) maka diampuni baginya (dosa-dosanya) antaranya dan antara jum’at berikutnya”.
[Hadits Hasan, diriwayatkan Ibnu Majah, dihasankan Syaikh al Albaaniy].
Dari Salman al-Farisiiy, ia berkata, “telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alayhi wa sallam:
لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ وَ يَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ وَ يَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ أَوْ يَمَسُّ طِيْبِ بَيْتِهِ ثُمَّ يُخْرُجُ فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ ثُمَّ يُصَلِّي مَا كُتِبَ لَهُ ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ اْلإِمَامُ إِلاَّ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَ بَيْنَ اْلجُمُعَةِ اْلأُخْرَى
Tidaklah seseorang MANDI pada hari jum’at, bersuci apa yang ia sanggupi dari bersuci, menyemprotkan wewangian dari wewangiannya atau menggunakan harum-haruman rumahnya kemudian ia keluar serta tidak memisahkan antara dua orang lalu ia sholat apa yang telah ditetapkan untuknya kemudian ia diam ketika imam berbicara (berkhutbah)… melainkan diampuni baginya apa yang di antaranya dan antara jum’at berikutnya”.
[Telah mengeluarkan hadits ini al-Bukhoriy: 883, 910. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Mukhtashor Shahiih al-Imaam al-Bukhooriy: 473, Shahiih al-Jaami’ ash-Shahiir: 7736, Shahiih at-Targhiib wa at-Tarhiib: 689 dan Misykaah al-Mashoobiih: 1381].
Dari Aus bin Aus ats-Tsaqofiy, ia berkata, ”aku pernah mendengar Nabi shallallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda,
مَنْ غَسَّلَ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ وَ اغْتَسَلَ وَ بَكَّرَ وَ ابْتَكَرَ وَ مَشَى وَ لَمْ يَرْكَبْ وَ دَنَا مِنَ اْلإِمَامِ فَاسْتَمَعَ وَ لَمْ يَلْغُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ عَمَلُ سَنَةٍ أَجْرُ صِيَامِهَا وَ قِيَامِهَا
”barangsiapa menjimak (istrinya)* pada hari jum’at dan MANDI (dari sebabnya), bersegera datang dan bergegas, berjalan dan tidak berkendaraan, menyimak dan tidak berbicara maka baginya setiap langkahnya sebanding dengan amalan setahun pahala shoum dan menegakkannya”.
[HR. Ibnu Majah, Abu Dawud, Tirmidizy, dan selainnya, dishahiihkan syaikh al albaaniy].
* [Perkataan غسّل yaitu menjimak istrinya lalu ia membutuhkan mandi. Yang demikian itu agar lebih menjaga (pandangan) di dalam perjalanannya apabila ia keluar menuju jum’at dan mandi setelah berjimak. Dan بكّر yaitu mendatangi sholat di awal waktunya dan ابتكر (bergegas) untuk mendapatkan awal khutbah. Catatan kaki dari Misykaah al-Mashoobiih: I: 437 dan Shahiih at-Targhiib wa at-Tarhiib: I: 290. Baca pula Bahjah an-Naazhiriin: II: 318]
Adapun hukumnya, maka ia adalah SUNNAH MU’AKKADAH bagi setiap muslim pria yang telah baligh, yang diwajibkan shalat jum’at padanya. Sedangkan waktunya adalah sebelum berangkat sholat Jumat.
Dalil-dalilnya adalah:
dari Abu Hurairah radliyallah ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ وَزِيَادَةُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَا
“Barangsiapa berwudhu’, lalu memperbagus (menyempurnakan) wudlunya, kemudian mendatangi shalat Jum’at dan dilanjutkan mendengarkan dan memperhatikan khutbah, maka dia akan diberikan ampunan atas dosa-dosa yang dilakukan pada hari itu sampai dengan hari Jum’at berikutnya dan ditambah tiga hari sesudahnya. Barangsiapa bermain-main krikil, maka sia-sialah Jum’atnya.” (HR. Muslim)
Di dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hanya menyebutkan wudhu’ dan hanya menfokuskan padanya, tidak pada mandi, lalu menilainya sah sekaligus menyebutkan pahala yang diperoleh dari hal tersebut. Dengan demikian, hal itu menunjukkan wudlu’ saja sudah cukup dan tidak perlu mandi. Dan bahwasanya mandi itu bukan sesuatu yang wajib, tetapi Sunnah Mu’akkadah.
Imam al Nawawi rahimahullah, dalam Syarh Shahih Muslim, ketika memberikan syarah hadits, “siapa yang mandi kemudian mendatangi Jum’at, lalu shalat sebagainya yang dia mampu, lalu memperhatikan khutbah hingga selesai, lalu shalat bersama Imam, maka diberi ampunan untuknya pada hari itu sampai dengan hari Jum’at berikutnya dan ditambah tiga hari sesudahnya,” beliau menyitir riwayat di atas. Kemudian berkata, “di dalam hadits (pertama) terdapat keutamaan mandi. Dan itu bukan hal yang wajib berdasarkan riwayat kedua. Di dalamnya terdapat anjuran berwudlu’ dan memperbagusnya.”
Dari Samurah bin Jundub berkata, ”Rosulullah shallalaahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ اْلجُمُعَةَ فَبِهَا وَ نِعْمَتْ وَ مَنِ اغْتَسَلَ فَاْلغُسْلُ أَفْضَلُ
”barangsiapa berwudlu pada hari jum’at maka ia telah mendapatkan sunnah dan juga kebaikannya. Dan barangsiapa yang mandi maka mandi itu lebih utama”.
[Telah mengeluarkan hadits ini at-Tirmidziy: Abu Dawud, an Nasaa-iy, Ibnu Maajah, Ahmad, dan selainnya; dishahiihkan syaikh al albaaniy].
Ibnu Hajar mencantumkan hadits ini dalam Bulughul Maram sesudah hadits yang menunjukkan wajibnya mandi Jum’at. Dan berdasarkan hadits ini, Jumhur mendasarkan pendapat mereka.
Imam al Shan’ani dalam Subul al-Salam berkata, “hadits ini menjadi dalil tidak wajibnya mandi.”
Al-Mubarakfuri dalam Ithaf al Kiram berkata, “hadits ini menguatkan pendapat Jumhur bahwa mandi hari Jum’at tidak wajib.”
Dari Aisyah, bahwasanya ia berkata, “Manusia datang menghadiri jum’at dari rumah-rumah mereka yaitu dari al-Awaliy*. Mereka datang dengan mengenakan mantel dan debu juga menimpa mereka. Maka keluarlah bebauan dari mereka. Datanglah salah seorang dari mereka kepada Rosulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam, sedangkan Beliau ada di sisiku. Maka beliau bersabda,
لَوْ أَنَّكُمْ تَطَهَّرْتُمْ لِيَوْمِكُمْ هَذَا
”andaikan kalian bersuci (mandi) untuk hari kalian ini”.
[Telah mengeluarkan hadits ini Bukhaariy, dan selainnya].
*al-Awaliy adalah nama suatu tempat yang berjarak sekitar empat mill atau lebih dari kota Madinah. [Fath al-Baariy: II: 386]
Lafadz hadits ini memberikan pengertian bahwa mandi hari Jum’at itu bukan suatu yang wajib. Pengertian dari sabda beliau di atas adalah, “niscaya akan lebih baik dan lebih sempurna.” (Syarh Shahih Muslim: IV/382)
Rasuulullaah bersabda:
غُسْلُ يَوْمِ الْجُمُعَةِ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ وَسِوَاكٌ وَيَمَسُّ مِنْ الطِّيبِ مَا قَدَرَ عَلَيْهِ
“Mandi hari Jum’at itu wajib bagi setiap orang yang bermimpi. Begitu pula dengan bersiwak dan memakai wewangian jika mampu melaksanaknnya (jika ada).”
(Muttafaq ‘alaih; al-Bukhari no. 880 dan Muslim no. 846)
Lahiriyah hadits ini menunjukkan bahwa memakai siwak dan wewangian adalah wajib. Padahal menurut kesepakatan yang ada tidak demikian. Hal itu menunjukkan bahwa sabda beliau “wajib” itu bukan makna yang sebenarnya. Namun, maksudnya adalah sunnah mu’akkadah. Sebab tidak dibenarkan penggabungan sesuatu yang wajib dan sesuatu yang tidak wajib dalam satu kata sambung wawu (artinya: dan). Wallaahu a’lam
(lihat al Mufhim Limaa Asykala Talkhiish Kitab Muslim, Imam al Qurtubi: II/479-480 ; Fathul Baari, Ibnul Hajar: II/356-364 ; dan Zaad al Ma’ad, Ibnul Qayyim: I/376-377)
Ibnu Qudamah berkata,
“tidak ada perbedaan mengenai disunnahkannya hal tersebut. Dalam hal itu terdapat banyak atsar shahih sehingga hal itu bukanlah sesuatu yang wajib menurut pendapat mayoritas ulama. Itu merupakan pendapat al Auza’i, al-Tsauri, Malik, al-Syafi’i, Ibnul Mundzir, dan Ashabul Ra’yi. Ada yang berpendapat yang demikian itu adalah ijma.”
(al Mughni, Ibnu Qudamah: III/225)
Imam Ibnu ‘Abdil Barr berkata,
“para ulama telah bersepakat bahwa mandi hari Jum’at bukan suatu yang wajib, kecuali satu kelompok dari penganut paham al-Dzahiriyah. Mereka mewajibkan dan bersikap keras dalam hal itu. Sedangkan di kalangan ulama dan fuqaha’ terdapat dua pendapat: salah satunya menyebut sunnah dan yang lainnya mustahab. Bahwasanya perintah mandi Jum’at itu karena suatu alasan sehingga ketika alasan itu sudah ditangani, gugurlah perintah tersebut. Sesungguhnya pemakaian wangi-wangian sudah cukup memadai.”
(al-Tamhiid: XIV/151-152)
Al-Hafidz Ibnu Rajab menyebutkan bahwa mayoritas ulama berpendapat bahwa, mandi hari Jum’at sunnah, bukan wajib. Telah diriwayatkan dari Umar, Utsman, Ibnu Mas’ud, ‘Aisyah, dan sahabat-sahabat lainnya. hal ini juga yang telah disampaikan Jumhur Fuqaha’ seperti al-Tsauri, al-Auza’i, Abu Hanifah, al-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq. Selain itu juga diriwayatkan oleh Ibnu Wahab dari Malik. Maka perintah mandi diartikan sebagai sesuatu yang sunnah.
(Fath al Baari, Ibnu Rajab: (VIII/78-82)
Syaikh Ibnu Bazz rahimahullah juga berpendapat bahwa mandi hari Jum’at hukumnya sunnah mu’akkadah. Beliau berkata,
“mandi hari Jum’at itu sunnah mu’akkadah, yang senantiasa harus dijaga seorang muslim dalam rangka keluar dari orang yang mewajibkannya. . . .
Yang benar adalah bahwa bahwa mandi hari Jum’at itu sunnah mu’akkadah.
Adapun sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Mandi Hari Jum’at itu wajib bagi setiap yang telah baligh,” maknanya menurut mayoritas ulama sudah sangat jelas sebagaimana ungkapan orang Arab: “janji itu hutang dan wajib bagiku untuk melunasinya.” Sebagian mereka mengemukakan: “Aku wajib memenuhi hak anda,” dan itu berarti penekanan.
Hal tersebut juga ditunjukkan oleh kebijakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sudah cukup dengan hanya memerintahkan berwudlu’ saja dalam beberapa hadits. Demikian halnya dengan memakai wewangian, bersiwak, mengenakan pakain terbagus, dan segera berangkat ke tempat pelaksanaan Jum’at (masjid). Semua itu merupakan hal yang sunah, memang dianjurkan, dan bukan suatu yang wajib.”
(disarikan dari fatwa-fatwa Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Bazz. Lihat Majmu’ Fatawa Syaikh bin Bazz (XII/404), al-Fataawa al-Islaamiyyah (I/419). DR. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al Qahthani dalam Shalatul Mukmin, mennuturkan keterangan Syaikh bin Bazz ini didengarnya beberapa kali saat mengupas Shahih Bukhari no. 818 dan seterusnya.)
Adapun tata cara mandi Jumat ini seperti halnya mandi janabah biasa.
Rasulullah bersabda:
مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ
“Barang siapa mandi Jumat, (–hendaklah mandi seperti–) mandi janabah.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
0 Response to "23 AMALAN SUNNAH Di HARI JUM'AT (Bagian 2)"
Posting Komentar